watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

Cerita sexs
Ketika Hujan Turun

Namaku Nessa, samaran tentunya. Saat ini aku
sedang menyelesaikan skripsi S1 di kota B.
Berikut ini adalah salah satu isi diary-ku yang
ingin dipublikasikan ke khalayak ramai. Mohon
maaf sebelumnya, tapi aku ingin beritahukan
bahwa aku menggunakan account email sobat
tercintaku Dytha, seorang cowok yang baik hati
dan penuh perhatian.
Bandung, 6 Desember 1999
“Tok…tokkk…tokkkkkkk..”
“Nes, kuliah nggak loe?” suara Risa terdengar tak
sabar menunggu di luar pintu kamar mandi.
Aku masih sempat terbayang perlakuan pria itu
semalam. Lidah-lidahnya benar-benar
membuatku gila dan menyiksa semua syaraf-
syaraf kenikmatanku. Perlakuannya yang sulit
ditebak, kadang cepat dan kasar, kadang lembut
penuh perasaan, membuatku terengah-engah
melayang bergoyang dicabik badai. Tiada henti
dia membiarkan diriku santai sejenak meresapi
gesekan kulit dadanya di ujung-ujung
payudaraku. Vaginaku diserang habis-habisan
dengan tusukan-tusukannya yang semakin lama
semakin menguras staminaku. Dansa kami di
atas pembaringan berakhir pada saat musik
indah tergantikan suara hujan di luar sana.
Sial..!
Aku mendapati diriku basah kuyup oleh keringat
dan baju tidurku yang tak mampu menutupi
tubuhku secara normal. Aku beranjak bangun
dan membenahi baju tidurku. Sekali lagi aku
menghampiri pintu kamarku untuk memastikan
kondisinya yang masih aman terkunci. Jam 3:20,
Masih beberapa jam untuk melanjutkan tidurku.
Aku terpaksa mengganti underwear-ku yang
basah oleh keringat bercampur cairan
kewanitaanku. Mudah-mudahan pria itu datang
lagi ke dalam mimpiku. Berharap semu birahiku
terpuaskan kembali.
Hari ini benar-benar lembab dan dingin. Hujan
telah mengguyur kota sejak dini hari dengan
tetesan-tetesannya. Kadang untuk beberapa
puluh menit, tetesan-tetesan itu terhenti seolah
memberi kesempatan kepada manusia untuk
memikirkan langkah kehidupan selanjutnya.
Langit temaram dengan ditemani sinar mentari
yang bermalas-malasan. Beberapa gumpalan
awan berkumpul seolah sepasang kaki wanita
yang sedang berbaring manja.
Untung Risa juga ada kelas yang sama denganku
jam 8 ini. Aku bisa ikut menumpang mobilnya
dengan aman dari rasa takut macet, basah, atau
berdesakan di angkot. Seperti biasa jika bermobil
di pagi hari, Risa menghindari simpang jalan D
yang selalu macet dan semrawut. Tampaknya
lampu lalu lintas sedang ngambek menjalankan
tugasnya. Cerita lama…
Kami dapat tiba dengan selamat tanpa
kekurangan suatu apapun dan segera menuju
kelas kami masing-masing. Selama perkuliahan
aku sedikit terpecah berkonsentrasi dengan
diiringi mulutku yang selalu menguap.
Hari ini bergerak seperti biasanya. Tiada yang
menarik untukku selama waktu yang berputar.
Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk
termangu di sebuah angkot yang membawaku
pulang dari kampus tercinta. Risa mungkin
sudah pulang duluan. Aku ada kelas lebih dari
satu mata kuliah hari ini, pada hari Senen pula!
Payung kesayanganku tetap setia mendampingi,
sambil sesekali tanganku mengibas rambut yang
tertiup angin sejuk dari jendela angkot itu. Entah
mengapa desiran angin membuat gairahku
kembali bangkit. What’s wrong with me? Begitu
tersiksanyakah tubuhku berharap sentuhan dan
lambaian seorang pria? Paddy, I really miss You,
Honey! Aku hanya bisa mendengar suaramu
yang membentang laut dan samudra.
Kerinduanku memuncak saat hanya desahanmu
yang terucap. Ohhh… Aku rindu guratan merah
di dadaku, tanda nakal yanng tersisa darimu.
Hembusan nafasmu yang melahap pori-pori
perutku. Begitu cepatnya kewanitaanku
melembab hanya dengan sapaanmu yang
menggoda. Paddy… I love you. I need you. I
want you!
Aku kembali duduk diam tanpa pikiran apapun.
Dan tiba-tiba ia naik! Cukup tinggi dan ramping.
Kepalanya bergerak ke segala arah untuk
mencari tempat duduk yang cocok baginya. Ia
menatapku sekejap seolah meminta ijin untuk
duduk di tempat kosong di sebelahku. Dengan
cekatan ia berbalik arah dan tanpa sengaja ransel
di punggungnya menabrak dadaku. “Damn!”
runtukku dalam hati. Dengan segera ia
memperbaiki posisi duduknya dan tersenyum
polos penuh penyesalan. Akhirnya ia bisa duduk
dengan tenang ditemani ransel kulit di atas
pangkuannya. Ia mengambil sapu tangan dari
kantung jeansnya dan menyeka wajahnya. I
don’t know why but I like the way he is doing
with his stuff. Tanpa sepatah kata, ia bergerak
bersandar dan mulai memejamkan matanya
seolah menikmati ayunan seorang ibu kepada
anaknya yang mau tidur. He’s really cool and
rilex.
Angkot bergerak membelah jalan mengarungi
hujan. Satu persatu penumpang turun dengan
bergegas memusuhi hembusan angin dan
hujan. Di simpang Cisitu, angkot berhenti
berharap tambahan penumpang yang hanya
menyisakan kami berdua, selain supir angkot
tentunya. Aku meyakinkan diriku untuk tidak
membuang kesempatan ini.
“Pulang kuliah, Mas?” tanyaku tiba-tiba dan
cukup mengagetkan dirinya.
“Nope. Cuma ngasih laporan praktikum ke lab
aja. Tadi mampir sebentar ke Aquarius nyari
CD,” tetap dengan gaya bicaranya yang
membuatku semakin tertarik.
“Sekarang udach beli donk?” tanyaku lagi
menyelidik.
Dia hanya nyengir dan kemudian menjawab
lirih, “Ketipu nich gue. Shit!”
Aku hanya menatapnya bingung.
“Temen gue kemarin bilang dia lihat ada CD yang
udach lama gue incer. Gue datangi ke sana dan
nggak ada tuch… Pake acara kehujanan lagi!”
lanjutnya sambil menghela nafas.
“Emang cari lagu apa sich?” tanyaku lagi.
“Jazz. Tau jazz?” tanggapnya dengan suara
berintonasi sedikit mengejekku.
Kurang ajar nich cowok! runtukku dalam hati.
Nggak tau apa dia berbicara sama aku yang
penikmat jazz juga? Tapi kuakui juga sich, di
antara teman-temanku yang cewek, populasi
penikmat jazz-nya juga minim. Mungkin dia
berpikir aku hanya cewek yang suka musik
musiman atau yang biar dicap ikut trend doank.
“Aku suka Fusion. Kamu bukan penikmat
mainstream, hip-hop, blues, ato swing khan?
tanyaku lagi dengan tatapan penuh penasaran
menunggu reaksinya. Tentu saja dia kaget!
hihihihii…
“Aku tadi nyari The Best of Rippingtons. Di-
release aja belum apalagi dijual…” dengan
suaranya yang dibuat lebih hati-hati.
“Russ Freeman, khan? Setauku juga emang
belum ada,” jawabku dengan suara bangga.
“By the way, aku Indra,” tangannya terbuka dan
segera kubalas bersalaman singkat. “Nessa,”
sambil tersenyum.
Tampaknya pembicaraan kami semakin
menggairahkan sesuai kesamaan minat. Angkot
sudah bergerak kembali menuju tempat
mangkalnya yang terakhir. Apakah suatu
kebetulan, rumah kost kami relatif dekat walau
hanya berjarak 200-an meter saja. Aneh juga
sich, di daerah kost kami di Cisitu Indah, angkot
yang lewat cuma satu jurusan. Tapi kok nggak
pernah ketemu yach? Mungkin itu yang
namanya jodoh? Atau nafsuku saja yang
menjebak? Aku menerima ajakannya untuk
mampir ke tempatnya. Ia berasalan untuk saling
bertukar koleksi CD dan berharap aku akan
mampir kelak. Am I a slut or what? Tapi aku
menikmati perlakuannya ketika kami sepayung
berdua menembus rintik hujan dengan
rangkulan tangannya di pundakku. Aku jadi
teringat sebuah film Indonesia klasik yang
pernah kutonton dan aku tersenyum sendiri
dibuatnya. Di depan kamar kostnya, ia berhenti
sejenak, membuka pintu, dan
mempersilahkanku masuk.
“Tolong jaga sikap yach. Kamu di kamar orang!”
cetusnya tiba-tiba. Aku sempat bingung, tapi
melihat senyumnya yang mengambang aku jadi
mengerti. Aku sadar biasanya tuan rumah
ngomong, “Ayo silahkan jangan malu-malu.
Anggap aja kamar sendiri.” Tapi dia malah
ngomong sebaliknya. Sebal!
Sambil dia sibuk sendiri dengan barang-barang
dan tas bawaannya, aku punya kesempatan
untuk memperhatikan isi ruangan. Kamarnya
ditata rapi walau agak sesak dengan barang-
barang elektronik di sekelilingnya. Ada poster
kartun Donald Duck, Batman, dan beberapa
poster lainnya. Tapi ada poster yang
membuatku lebih penasaran, “The Funeral of
Superman”. Peti mati Superman yang diusung
oleh 6 jagoan, dan diikuti oleh semua jagoan-
jagoan DC Comics di belakangnya. Aku cukup
terkesima melihat banyak sekali figure-figure
jagoan dalam 1 poster.
“Ambil dech tuch poster, kalo mau. Tapi harus
bugil dulu depanku.” Lagi-lagi ia membuat
pernyataan sumbang dan nakal yang membuat
kupingku jadi agak panas. Kata-katanya memang
kurang ajar untuk percakapan pada awal-awal
perkenalan. Aku sama sekali tidak tersinggung!
Tapi pilihan kata-katanya membuatku semakin
penasaran. Berbeda sekali ketika kami bercakap-
cakap di angkot tadi. Apakah keberanian Indra
timbul ketika aku mau menerima ajakannya
mampir? Apakah dia tipe pria yang
membutuhkan waktu dan situasi spesial untuk
membuka topeng hasrat dan gairahnya? Ia
menyeruak masuk dengan tiba-tiba, sambil
kedua tangannya membawa teh hangat
mengepul yang sepertinya nikmat sekali. Aku
hanya mencibir mananggapinya dan
menghampiri teh hangat yang sudah
diletakkannya di atas meja belajar. Baru beberapa
saat aku menikmati minumanku, dia sudah
melangkah keluar kamar lagi. Sibuk bener,
pikirku singkat. Atau dia gugup….. Tampaknya ia
memang menungguku untuk bergerak duluan.
Ia seperti pria yang berusaha menahan situasi
tetap terjaga, berharap sang wanita memohon
untuk dipuaskan. Aku mengalihkan pandangan
pada suatu benda yang kukenal sebagai CD
tower. Kuhampiri dan dengan mata berbinar
kutelusuri deretan-deretan CD di depanku.
Beberapa nama masih kukenal seperti Boney
James, Bob James, David Sanborn, Fourplay,
Earl Klugh, atau George Benson. Tapi Kirk
Whalum, Kevin Mahogany, Mark Whitfield???
siapa tuch? Harus lebih banyak dengar musisi
baru nich. Atau mereka musisi senior? Atau aku
saja yang kurang wawasan?
Beberapa saat kemudian, suara hujan
kedengaran kembali semakin deras. Suaranya
bertalu-talu menampar genting dan dedaunan.
Sesekali suara guntur menggelegar membahana
menemani desiran angin. Aku menarik salah
satu album Take 6 dan memainkannya di CD
player Pioneer yang teronggok di sebelah CD
tower. Alunan “Biggest Part of Me” memenuhi
kamar dan aku kembali menyibukkan diri di
depan CD tower seperti semula. Sekejap terasa
hangat sensual kurasakan di sekitar leher dan
telinga. Bulu-bulu halusku menegang menyapa
hasratku yang merinding. Aku mengatup
mataku perlahan dan meresapi gejolak yang
melanda tubuhku.
“Liked that, did you?” suara yang kukenal
kembali menyapa.
Untuk menjawab pertanyaannya, kukibas-
kibaskan tanganku seolah mendinginkan diriku
yang terasa terbakar.
“Let it get hot,” katanya lagi.
“It already is.”
Tangannya menggosok punggungku. “Warm,
but not hot yet.”
“Butuh seberapa panas nich?” tanyaku.
Indra bergerak perlahan menjauh dan menatap
keluar jendela. Aku dapat melihat detak nadinya
di tenggorokan, Adam’s apple-nya bergerak
sesaat setiap waktu.
“Bener-bener dingin yea di luar,” katanya. Tapi
sepertinya ia tidak membicarakan cuaca.
Aku menghampiri tempat tidurnya yang tertata
rapi. Perlahan kubaringkan tubuhku, dan rasa
dingin sejuk merayap di sekujur kulitku.
“Sini.” Ia tampak ragu, kembali kami saling
berhadapan, tapi matanya menerawang jauh.
“Take your shirt off.”
Perintah itu seolah membawanya kembali ke
bumi dan perlahan ia duduk di sisi tempat tidur.
Ia menggigit bibir bawahnya, dan kembali
lehernya berdetak.
“Slowly.” Aku memberi petunjuk dengan
senyum merekah.
“Ya,” jawabnya singkat layaknya pasien yang
terhipnotis.
Jari-jarinya merenggut ujung bawah kaosnya
dan melepasnya dengan sigap. Terpampanglah
dada seorang pria dewasa di depanku.
Putingnya yang kecil bulat menegang dengan
bertaburkan bulu-bulu halus di sekelilingnya.
Urat-urat kebiruan sedikit menonjol di sepanjang
lengan dan tangannya. Ia memperhatikan
mataku yang menyapu dadanya. Tiba-tiba
lengannya terangkat dengan tangan terbuka.
“Kenapa,” ujarnya penasaran.
“Gimme those hands.”
Ia merangkak mendekat di atas tempat tidur
mendekatiku.
“Mau diapain?” sepertinya dengan pikiran yang
berkecamuk.
“Celanaku basah.”
Ia tersenyum tertahan. “I hope so.”
“No. no. Aku tadi sempat kedudukan bangku
yang basah waktu di angkot. Mau bantu aku
melepaskannya?”
Ia berkata, “Boleh,” tapi sama sekali tak bergerak.
“Want me to?” Aku meraih ujung celanaku dan
mengangkat pantatku. Ia meletakkan salah satu
tangannya di perutku untuk menahanku. Ia
menatap kakiku, dadaku, dan mulutku. Ketika ia
menatap mataku, matanya kembali turun ke
bawah. “Sudah cukup lama,” katanya muram.
“Dan kamu udach lapar sekali, khan?”
Ia menarik nafas panjang memenuhi setiap
sudut paru-parunya. Badannya bergetar
kembali. Aku dapat melihat ketegangan di balik
celananya. Posisinya benar-benar
merangsangku seperti gelembung balon yang
mau pecah. Ia menggenggam dengan
tangannya sendiri dan meremasnya. Keras.
Menghembuskan nafas dari hidungnya dengan
menggigit bibir bawahnya.
Aku mengangkat kembali pantatku dan berusaha
melepaskan celana katunku beserta underwear-
nya. Aku menunggu usapan tangannya dengan
berdebar-debar. Ketika tangan itu datang,
elusannya benar-benar halus. Kewanitaanku
bergejolak menanggapi sensasi yang dibuatnya.
Ia menarik celanaku menggantikan kedua
tanganku yang sudah meremas sprei tempat
tidur. Aku mengangkat kedua kakiku ke atas
untuk memudahkannya terlepas sempurna. Ia
melipat celanaku rapi dan meletakkan
underwear-ku diatasnya. Tangannya kembali
merenggut kedua pahaku dan
merenggangkannya.
Wajahnya diletakkan sedekat mungkin dari
kewanitaanku. Ia menghirupnya dalam dan
menutup matanya. Sekarang giliran Indra yang
melenguh tertahan. Tiba-tiba, ia melepas
pegangannya di pahaku. Ia bangkit dan melepas
celana jeans dan underwear. Kejantanannya
mengacung lega di antara kami berdua,
menghadap atap kamar yang gemuruh diterpa
hujan. Bilur-bilur nadi di sekujur batang
kemaluannya menambah nuansa tersendiri. Ia
menatapku sesaat dan mengangguk tanpa arti.
Tanpa sadar jari jemariku mulai melepas kancing
kemejaku dan melempar ke mukanya. Ia tidak
kaget, bahkan menangkap kemejaku dengan
sigap. Dan ritual melipat pakaiannya terulang
kembali. Aku memiringkan tubuhku.
“Would you mind?” sambil membuat lirikan
manja.
Ia menghampiri dan menatapku tajam. Ia
membantu melepaskan kaitan bra-ku dan
dengan sedikit gemas aku menggaruk
punggungnya. Aku sudah mulai tidak sabar. Aku
tidak memperhatikan lagi kemana perginya bra-
ku. Kedua tangannya mendorong pundakku dan
aku hanya mengikuti pasrah. Tubuhku sudah
mulai berkeringat dan kewanitaanku sudah
semakin melembab. Dinginnya sprei tempat
tidur hanya memberikan kesejukan sementara
pada syaraf-syaraf kulitku yang terombang-
ambing kenikmatan duniawi. Ia kembali menatap
dengan mata yang semakin berbinar seolah
seorang anak yang diberi mainan baru tanpa
keinginan untuk memegangnya.
Kemudian badannya berbaring dan kepalanya
mengarah pada wajahku. Tapi perkiraanku
ternyata meleset! Untuk beberapa saat ia mencari
sesuatu di atas kepalaku. Ketika ia kembali pada
posisi duduk, mulutnya sudah menggigit
sebungkus kondom. Aku berusaha beranjak
bangun dan menatap antusias apa yang akan
terjadi selanjutnya. Jari-jari tangan kirinya
menahan ujung penisnya yang sudah merah
mengkilat dan menggulung karet pengaman itu
menutupi seluruh kejantanannya dengan jari-jari
tangan kanannya. Ia berlutut di atas tempat tidur
dan jari-jarinya kembali mengurut penisnya
seperti meyakinkan posisi karet yang benar-
benar nyaman. Jujur saja, saat itu kepalaku
sudah semakin pusing dan desiran-desiran yang
menyelubungi kewanitaanku semakin menjadi-
jadi. Kami melakukan foreplay tanpa sentuhan
fisik yang berarti!
Ia menyelinap di antara kedua kakiku. Kedua
lututnya yang terlipat menahan kedua pahaku
yang merenggang pasrah. I know this man is
gonna rock me. Aku menggapai belakang
kepalaku untuk sesuatu sebagai pegangan.
Sesuatu yang bisa kugunakan sebagai jangkar
sehingga aku dapat menahan serangannya nanti.
Rongga kewanitaanku melemas terbuka bersiap
untuk menelan sesuatu yang keras dan gemuk
di hadapannya. Indra bergerak sangat perlahan.
Ia menatap ke bawah tubuh kami dan terkesima
melihat daerah pertempuran yang berada di
bawah kontrolnya.
“Can I?” ia bertanya, suaranya ketat dan tinggi,
seperti kejantanannya.
“Terserah!” dengan warna suara yang sudah
tidak sabar lagi.
Action! Ia mendorong keras memasukiku,
memenuhi rongga vaginaku, mendesakku ke
tempat tidur, dan badanku bergetar keras ketika
ia menariknya keluar. Selalu berulang. Keras.
Menuju dalamnya tubuhku, dan kembali.
Menyusun irama kenikmatan menemani rain
symphony.
“Rapatkan kakimu,” kataku memohon.
Ketika ia melakukannya, bukit kecil pelvisnya
menabrak klitorisku. Sensasional dan
menyenangkan. Denyutan orgasmeku semakin
nyata, sayangnya belum cukup.
“I wanna roll over.”
“Yeah.” Ia berhenti bergerak di dalamku. Agak
menarik mundur. Membiarkan lututku pergi. Aku
berusaha berbalik mengelilingi kejantanannya,
tanpa melepaskannya, sehingga tubuhku berada
di atasnya sekarang. Ia meremas pinggulku,
seperti pengungkit, ia mulai memompa,
mendesak, dan menusuk. Kedua tanganku
meremas dadanya, memilin puting payudaraku,
dan menggaruk paha kakinya. Aku mengangkat
tubuhku sehingga dapat melihat batang
kemaluannya yang masuk-keluar menggesek-
gesek bibir vaginaku. Aku menggenggam bola-
bola kejantanannya dengan tangan kiri, dan
menjepit klitorisku diantara telunjuk dan jari
tengah tangan kananku.
Indra menggeram sekarang, dan tekanan di
antara kami berdua membuat udara di paru-
paruku terlepas keluar membentuk desahan dan
jeritan tertahan. Aliran kenikmatan telah menjalar
dari tumit sampai ke ubun-ubun kepalaku. Ia
menarik keluar penisnya dengan cepat. Vaginaku
terasa hampa tanpa arti. Aku merendahkan
kewanitaanku berusaha menemukan kembali
kejantanannya. Batang kemaluannya terselip di
antara bibir-bibir vaginaku, tanpa berusaha untuk
menerobos masuk kembali. Kepala penisnya
menemukan titik keras klitorisku lagi dan
berulang. Aku menekan jari-jariku untuk
menahan batang kemaluannya tetap pada posisi
itu.
“Kayaknya sebentar lagi nich. Aku akan meledak
sebentar lagi,” kataku sambil terengah-engah.
“Bilang aja kalau udah deket,” bisiknya di
telingaku.
Erangan kenikmatan sudah tidak bisa
kukendalikan lagi. Mulut Indra berusaha untuk
membungkamku, mengurangi keliaranku. Aku
tidak bisa menahannya walau sudah berjuang
keras. Dan aku benar-benar menikmatinya. Ia
mendorong kembali pinggulnya dan
memasukiku. Ia membenamkan wajahnya di
leherku. Aku dapat merasakan denyut nadi di
batang kemaluannya, dan kekagetanku yang
membuatku melayang ketika tangannya
meremas payudaraku dan memilin putingku
dengan keras. Perlahan kami berusaha
menormalkan kembali pernafasan. Ia
membaringkan tubuhku kembali di atas tempat
tidur dan meletakkan tubuhku di sisinya. Ia
menciumi dengan lembut leher dan dadaku.
“Thanks,” ucapnya lirih.
“Lagi…..,” jawabku manja.
Hari ini terpaksa makan siangku digabung
dengan makan malam. Indra benar-benar
kujadikan pemuas dahagaku. Kerinduanku
seakan terjawab ketika berbaring di atas kasur
yang basah dan lengket. Aromanya membuatku
mabuk dan lemas. Aku pun harus dibantu untuk
melangkah keluar kamar. Selama aku di kamar
mandi pun, Indra harus mengecek untuk
memastikan bahwa aku tidak pingsan akibat
staminaku yang terkuras habis. Ketika pulang, ia
mengantarku sampai di depan kamar kostku dan
memberikan ciuman kilat di bibirku. Ia menolak
dengan tegas undanganku untuk mampir
sebentar menikmati nyamannya kamar kostku.
Aku mengerti mendengar alasannya yang harus
menyelesaikan tugas kuliah malam ini.
Sebetulnya staminaku telah kembali seperti
semula. Dan aku siap untuk melakukan posisi-
posisi bersetubuh lainnya.
Dengan air hangat, aku membersihkan tubuhku
dan meresapi kembali kenikmatan yang tersisa.
Semua pikiran dan emosi yang mengarahkanku
pada cinta telah kubuang jauh-jauh. Aku tak mau
terjebak di antaranya. Biarlah pangeranku yang
nun jauh di sana dapat merasakan getaran
hatiku. Semoga kasihku berkenan datang dalam
mimpiku malam ini. Aku berjanji takkan kulepas
tubuhmu walau hanya sesosok bayangan.
Selamat malam, my sweetheart. See you in
dream.


Adult | GO HOME | Exit
1/1388
U-ON

inc Powered by Xtgem.com